rthadi

HOME

Minggu, 12 Mei 2013

NGOPINI

EFEK MASS MEDIA DALAM PEMILU
Oleh:
Robeet Thadi, M.Si

INTRIK politik menjelang pemilu 2014 semakin TERASA, hal ini semakin terlihat jika kita membuka lembar demi lembar surat kabar dan ulasan acara di televisi yang tak pernah kering menyoal seputar pemilu. Beberapa stasiun televisi berlomba-lomba menghadirkan informasi pemilu sebanyak dan seaktual mungkin. Mulai dari acara talk show, debat kandidat, dialog, atau poling sms. Demikan halnya dengan surat kabar, beberapa surat kabar nasional dan daerah menghiasi lembaran korannya dengan beragam berita seputar pemilu dan calon peserta pemilu, bahkan terjadi penambahan rubric khusus seputar pemilu.
Fenomena ini merupakan gambaran dari peran penting media dalam suatu pemilihan umum (election) seperti dikemukakan oleh Oskamp & Schultz (1998), yakni memusatkan perhatian pada kampanye, menyediakan informasi akan kandidat dan isu seputar pemilu. Pertanyaan besar yang sering dilemparkan ialah, bagaimana media mempengaruhi wawasan politik, sikap dan perilaku masyarakat?
Media memiliki kemampuan untuk ‘mengatur’ masyarakat, not what to think, but what to think about. Penjelasan pada kalimat yang  ‘indah’ ini ialah media cenderung mengarahkan masyarakat memikirkan hal-hal yang tersaji dalam menunya, bukan apa yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakat itu sendiri. Saat media A berbicara tentang Fatwa MA tentang Pilwakot dan Fatwa MK tentang Sengketa Pilkada, merembet pada media lain, masyarakat pun ikut terlena di dalamnya. Media mampu menggeser agena lain yang sebenarnya lebih tinggi nilai beritanya.
Melihat demikian dominan pengaruh media dalam menggiring perilaku masyarakat pada suatu situasi tertentu alih-alih ikut kata media, tentu peluang ini tidak akan disia-siakan oleh aktor politik (caleg) untuk mendapatkan efek dari kuatnya pengaruh media massa. Seperti telah disinggung diawal bahwa peran utama media dalam suatu pemilihan umum ialah menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. Walaupun mungkin tidak memberi dampak langsung untuk merubah perolehan jumlah suara, namun media tetap mampu mempengaruhi banyaknya suara yang terjaring dalam suatu pemilu. Akibatnya setiap caleg berusaha mendapatan perhatian media untuk memperoleh keuntungan dari berita dan iklan yang diterbitkannya.
Jadi, jangan terlalu yakin jika poling-poling sms di berbagai stasiun televisi  dan poling caleg di surat kabar itu tidak memiliki dampak apa-apa, setidaknya besarnya angka poling pada pihak A atau calon A, akan mengusik atau menciutkan hati pihak B, atau lainnya. Masyarakat yang mengidolakan atau akan memilih capres-cawapres D misalnya, ‘mau nggak mau dipaksa untuk ‘meringis’ tatkala melihat jagonya berada di urutan buncit dalam poling sms, meski hampir semua percaya bahwa itu bukan representasi masyarakat Indonesia, tapi bukankah demikian efeknya orang lebih percaya media daripada fakta yang ada. (**) 

Opini: SERIBU WAJAH CALEG


SERIBU WAJAH CALEG
Oleh
Robeet Thadi, M.Si

PEMILU caleg DPD, DPR/DPRD semakin dekat, bermodalkan bahasa sosialisasi banyak cara caleg untuk mengenalkan dirinya kepada masyarakat. Tidak jarang kita temukan disetiap persimpangan jalan baliho para caleg dengan wajah diclose up secara total, sampai-sampai kita berdecak kagum, wah…cantik sekali, benar gak si A ya? Bahkan hampir disetiap pohon dipinggir jalan ada penghuninya, tapi bukan hantu lho…melainkan gambar caleg. Interaksi simbolik caleg tidak hanya terbatas pada visualisasi wajah dibaleho, nuansa simbolik dan simbolisasi bahwa saya seorang caleg juga diperankan oleh para kandidat disetiap aktivitas panggung depan.
Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas panggung, yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku nonverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah, menjaga kendali diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi. Apalagi sebuah harapan apa yang diperankan aktor berbuah dukungan dari masyarakat di DP pencalegannya.
Banyak peran yang dimainkan oleh caleg dipanggung depannya terkadang pertolak belakang dengan panggung belakang, ketika dipanggung depan dia seorang caleg tentu harus berperilaku sebagai seorang caleg yang harus berwibawa dan cerdas diyakini bertanggungjawab. Namun ketika dia berada di rumah, sang caleg boleh jadi dia adalah sang ayah yang harus berperan sebagai orang tua, yang mengayomi, mendidik dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang. Mungkin tanpa kita sadari, itu semua terjadi dalam setiap ‘adegan,’ pada sebuah ‘sandiwara’ kehidupan. Dunia ini tak ubahnya panggung sandiwara, setiap kita punya panggung depan dan panggung belakang, kitalah pemain drama dalam kehidupan.
Sebagai caleg yang sedang memainkan drama dalam panggung politik, panggung depan yang ditampilkan tuntunya bukanlah manipulasi seribu wajah agar mendapatkan dukungan semata dan terpilih menjadi anggota legislatif, tapi panggung depan itu merupakan simbolisasi sang kandidat dalam dunia politik ketika memainkan peran sebagai aktor politik dalam drama politik.(**)

NGOPINI


POLITIK sebagai KOMUNIKASI
Oleh:
Robeet Thadi, M.Si

POLITIK dalam kacamata sosial medapatkan pandangan beragam, mulai yang berkonotasi positif hingga yang berkonotasi negatif. Banyak orang yang alergi jika mendengar kata politik, segala hal yang “dipolitisir” mengandung makna negatif di telinga orang yang mendengarnya;  politik dalam kantor, pendidikan yang “dipolitisir,” seni yang “dipolitisir,” hankam yang “dipolitisir,” semuanya berkonotasi negatif dan memerahkan kuping yang mendengarnya.
Kata “politik” dalam konteks komunikasi sudah lama memperoleh nada jelek, slogan-slogan bernada sinis tentang politik juga tumpah ruah dalam wacana masyarakat kita. Sebut saja, “politik itu kotor,” “politik itu kejam,” “tak ada teman dalam politik,” “kekuasaan cenderung untuk korup,” dan berderet-deret slogan negatif lainnya. Alhasil, bagi banyak orang, entah itu politikus atau bukan, politik itu digenangi oleh intrik, diselimuti penipuan, manuver-manuver ambisius yang tidak jujur, dominasi, sikap-sikap munafik, dan kekerasan. Semua pengertian negatif tersebut sesungguhnya merupakan penyelewengan dari makna politik sebenarnya.
Politik sebagai komunikasi, Hannah Arendt, seorang filsuf perempuan Jerman, memiliki pandangan yang lain tentang politik. Menurutnya “politik adalah kegiatan partisipatif komunikatif,dipertegas Arendt dalam tulisannya “antara pihak-pihak yang bebas dan setara, yang dilakukan di dalam ruang publik sebuah komunitas.” Institusi yang demokratis itu bertugas menjaga agar komunikasi dalam ruang publik politis terus berjalan. Dengan kata lain, tindakan komunikatif ini adalah “roh” atau “nyawa” dari seluruh kehidupan politis masyarakat. 
Dalam pandangan kritis, aktivitas politis merupakan aktivitas bebas tekanan antara orang-orang yang berkedudukan setara. Segala bentuk dominasi, penggunaan kekerasan, paksaan, monopoli haruslah disingkirkan dari arena politis, karena hanya dengan “keharusan” semacam itulah tatanan ruang publik yang sehat dapat tercipta. Di samping itu, aktivitas politik juga merupakan aktivitas tindakan komunikatif antara individu-individu yang saling mengungkapkan kediriannya.
Lewat proses pengungkapan kedirian itu, individu-individu dalam masyarakat yang majemuk akan semakin menegaskan identitasnya, dan memperoleh hidup yang bermakna. Dengan aktivitas politis, orang membangun jaringan relasi satu sama lain, dan jaringan relasi itu, akhirnya, memungkinkan lahirnya solidaritas. Kekuasaan dapat diperoleh dari solidaritas tersebut. Dengan kata lain, kekuasaan adalah solidaritas, dan solidaritas adalah kekuasaan.
Kalau kita menilik kembali sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebelum merdeka, Indonesia adalah komunitas politis yang sendi-sendinya terbangun melalui proses komunikasi. Ia lahir dari kehendak bebas individu-individu yang membangun relasi bebas dan setara satu sama lain. Dengan kata lain, terbentuknya Indonesia merupakan bentuk pelepasan masing-masing individu dari perspektif kesukuannya untuk mencapai kebebasan melalui proses komunikasi intersubyektif yang bebas dan setara.
Individu-individu, pada awalnya, mulai “meninggalkan” keluarganya dan memasuki arena publik untuk berkomunikasi dengan individu lainnya. Dalam komunikasi dengan individu lain tersebut, harapan dan tujuan bersama pun akhirnya terbentuk. Setelah itu, individu-individu yang saling berkomunikasi secara jujur, bebas, dan setara itu, akan berjuang bersama untuk mencapai cita-cita dan harapan bersama tersebut. Komunikasi pun akan melebarkan ruang-ruangnya. Ia tidak lagi membatasi diri pada pembangunan jaringan di dalam suatu organisasi, tetapi meluas menjadi antar organisasi. Puncak kulminasi komunikasi tersebut dapat kita lihat pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dalam masyarakat Indonesia kekinian apakah proses politik sebagai komunikasi di atas memiliki rajutan harapan yang sama dalam membangun kebersamaan menuju masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera, melalui optimalisasi ruang public dalam membangun masyarakat komunikatif? Karena pada akhirnya aktivitas masyarakat tersebut akan melahirkan institusi politis. Dalam arti ini, institusi politis adalah organisasi sosial ruang publik yang terbentuk dari tindakan komunikatif warga-warganya. Ia bertugas untuk menjaga agar warganya tetap saling berkomunikasi, sehingga ruang publik politis yang sehat dan kritis tetap eksis. (**)

Jumat, 10 Mei 2013

NGOPINI


Public Opinion’ dalam Hegemoni Konglomerasi Media Televisi

Oleh: Robeet Thadi, M.Si

Keberadaan kita sebagai manusia di era informasi menjadi masyarakat konsumtif, hampir disetiap sisi kehidupan kita selalu diterpah oleh media massa. Media massa merupakan media yang memiliki posisi sangat penting terutama dalam pemenuhan kebutuahan yang serba instan. Institusi media massa dipercaya memiliki kemampuan dalam penyelenggaraan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara siginifikan. Serangkaian simbol yang memberikan meaning tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara luas.
Di antara media massa lainnya, televisi memang primadonanya. Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi. Tak seorang pun meragukan kedigjayaan media massa televisi. Betapa dominannya posisi televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun individu. Namun, di balik kuatnya posisi tersebut, industri televise menghadirkan sederet permasalahan. Ini terutama disebabkan oleh content televisi yang acap mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak. Sebagian besar produk televisi adalah program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional serta mengandung unsur-unsur hegemoni tertentu yang terkadang bersifat sensasional.
Setalah era reformasi menggelinding di negara kita, diikuti pula kebebasan media massa yang tidak lagi menjadi corong bagi penguasa. Akan tetapi tidak berarti dengan serta merta media massa terutama televisi bebas dari control pihak tertentu. Media massa memang bukan lagi menjadi corong penguasa, tetapi media massa tidak pernah lepas dari intervensi sang pemilik modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang nota bene memiliki beragam kepentingan, menyangkut kepentingan ekonomi, politik dan ideologi tertentu.
Media televisi diyakini mampu menanamkan opini dan menggiring opini masyarakat kepada sebuah keputusan tertentu, penumbuhan opini public ini tentu bukan terjadi secara sengaja dan itu sebuah realitas di masyarakat, tetapi tidak bisa lepas dari berbagai hegemoni dominan pemilik modal dan penguasa dengan berbagai kepentingannya. Dalam media penyiaran televisi kalau kita petakan secara global maka akan terpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7 dan Trans TV dibawa payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah Hary Tanoesoedibyo, Lativi dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal Bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan pimpinannya yang termasyhur Surya Palo.
Nama-nama di atas adalah orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan, sebagian di antaranya ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada pula yang merupakan tokoh penting pada salah satu partai. Tidak menutup kemungkinan mereka membangun media untuk memuluskan kepentingannya dalam hal perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media. Hal ini dapat dilihat dari wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa seperti yang baru-baru ini terlihat bagaiman televisi ramai ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar dan Tragedi Monas yang melibatan arogansi Front Pembela Islam terhadap Aliansi kebebasan untuk kebebasan beragama. Padahal di sisi lain masih banyak agenda-agenda penting lainnya yang harus diketahui oleh publik. Tapi inilah agenda media, masyarakat  akan mengikutinya.
Media memiliki kekuatan dalam menentukan agendanya, mana yang mereka anggap penting akan dianggap penting juga oleh masyarakat dan agenda itu mampu menggeser agenda-agenda besar yang sedang berkembang di masyarakat. Banyak agenda yang bergeser seperti penyelesaian kasus lumpur Lapindo,  yang sampai saat ini masih jauh dari kata “beres,” kasus kenaikan BBM yang menimbulkan banyak persoalan. Bahkan acapkali media membuat bias makna dan menggiring kepada sistem nilai tertentu, padahal salah satu hak yang harus didapat masyarakat dari media adalah mereka mendapatkan Diversity Informasi.
Tentu saja konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan mengingat pengaruh media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen habemas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public sphere yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan.
Mengapa agenda-agenda beser tadi mengalami pergeseran dalam pemberitaannya, semua ada dalam kendalai meja redaksi yang tidak bisa lepas dari pengaruh dominan pemilik modal dan idologi yang diusung. Penguasa tentu akan perupaya agar media massa menyelamatkan posisinya dengan jalan harus dikendalikan. Asumsi ini menegaskan betapa media massa yang berada dalam payung konglomerasi industri penyiaran dengan berbagai kepentingannya mampu menggiring opini yang berkembang di masyarakat menjadi sebuah konsensus, apa yang dianggap penting oleh media akan menjadi penting pula bagi publik. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik.