Maraknya berita tentang isu akan terjadinya tsunami pada tanggal 23 Desember 2007 yang ada di media cetak local akhir-akhir ini juga seirama dengan kebutuhan masyarakat akan informasi seputar gempa dan tsunami. Pentingnya akan sebuah berita yang disuguhkan oleh media massa tentu tidak terlepas dari kekuasaan yang melekat pada dirinya, media massa memiliki ideologi dan kepentingan tersendiri dibalik pemberitaannya. Kemasan-kemasan akan kepentingan itulah yang akan membingkai media dalam mengkonstruksi sebuah peristiwa. Katakanlah kemasan tentang kasus Dispendagate dan dukungan pro dan kontra terhadap gubernur Agusrin, penempatan posisi berita sebagai headline dan berada di halaman tertentu, itu juga hak otonom kebijakan redaksional sebuah media.
Demikian juga halnya dengan pemberitaan tanggal 23 Desember yang diisukan akan terjadi gempa bumi dengan skala besar dan gelombang tsunami, karena media sudah menganggap bahwa berita itu penting, maka masyarakatpun akan menganggap penting. Kita memang tahu bahwa Bengkulu merupakan daerah rawan gempa bumi, tapi sebelum sebuah media cetak lokal menerbitkan berita tentang prediksi Profesor asal Brasil bahwa akan terjadi gempa bumi tanggal 23 Desember2007 yang menghebohkan tersebut masyarakat bersikap wajar-wajar saja dalam menghadapi gempa, walaupun kerapkali kita temui hampir setiap ada gempa dengan skala tinggi di atas 6 SR, gelombang pengungsi sering terjadi.
Sikap was-was dan cemas, antara yakin dan tidak akan terjadinya bencana besar tersebut, media sudah berhasil ‘menggiring’ opini masyarakat dan membelenggu psikologi masyarakat dalam ranah ketidak menentuan. Di setiap pagi ketika membuka dan membaca lembar demi lembar media cetak lokal kita, tidaklah sulit untuk menjumpai berita tentang gempa bumi, seakan-akan bencana itu benar-benar akan terjadi. Mulai dari pemberitaan tanggapan dan komentar dari para tokoh agama dan tokoh masyarakat, dzikir akbar dan kegiatan penghambaan lainnya, langkah-langkah antisipasi yang diambil oleh pemerintah daerah dalam menangani bencana yang akan terjadi, simulasi bencana dan kebijakan-kebijakan taktis lainnya. Bahkan hal-hal yang langkah, unik dan luar biasapun tidak luput dari pemberitaan media seperti kacang merah yang bertuliskan Lailahailaullah, badan kucing yang bertuliskan Allah, penampakan di masjid, bekas jalan anai-anai yang mirip tulisan bismillahirrahmanirrahim dan daun salam yang bisa bergerak yang mempunyai dua kaki kanan dan tiga kaki kiri. Kesemua kejadian langkah dan unik itu tidak pernah lepas dan selalu dihubungkan dengan tanggal 23 Desember yang akan datang, dengan berbagai kejadian dan persitiwa itu seakan-akan dibalik akal dan logika dan keyakinan akan tuhan sang pencipta alam semesta, bahwa musibah itu benar adanya.
Perwajahan berita-berita tersebut dalam menghias lembar demi lembar halam media cetak, tentu tidak semua merupakan keinginan masyarakat sebagai khalayak konsumsi output media, tapi posisi masyarakat sebagai khalayak yang pasif tidak mampu berbuat banyak. Posisi ini menjadikan masyarakat sebagai ‘penerima berita,’ dan kekuasaan sesungguhnya ada di tubuh media massa. Walaupun secara internal dan eksternal, media massa baik cetak maupun elektronik memiliki fungsi dan peran tertentu dibalik kepentingan-kepentingan yang membelenggunya. Secara internal media butuh biaya operasional dalam ‘kerja-kerja kemanusiaannya’ sementara secara eksternal media massa dikelilingi oleh beragama kepentingan, baik penguasa maupun masyarakat secara luas. Dari peran dan fungsi serta posisi media massa itu sendiri, tentu saja hegemoni dibalik sebuah pemberitaan tetap berada dalam kontrol media massa yang bersangkutan.
Layak dan tidak layaknya sebuah fakta dan peristiwa yang dikonstruksi menjadi sebuah berita kembali berpulang pada kebijakan meja redaksi, demikian halnya dengan berita-berita politik daerah, isu gempa dan tsunami maupun berita yang lainnya. Media mempunyai kemampuan itu menganggap berita itu penting dan tidaknya, ibarat sebuah rating dalam dunia iklan dan tayangan dalam dunia televisi. Media cetaklah yang menentukan berita mana yang ratingnya tinggi di tengah-tengah masyarakat dan mana yang tidak, boleh jadi yang masuk kategori tinggi adalah berita dukungan massa demo pro dan kontra terhadapat gubernur Bengkulu dan isu gempa tanggal 23 Desember. Berbanding terbalik dengan media televisi yang menentukan rating dengan melakukan survey kuantitatif kepada pemirsa, sementara ‘rating’ dalam media cetak ditentukan langsung oleh selera dan kecenderungan media cetak yang bersangkutan.
Uraian di atas dalam kajian komunikasi khususnya komunikasi massa, sejalan dengan Agenda Setting Theory, dengan dasar pemikirannya bahwa di antara berbagai topic yang dimuat media massa, topik yang mendapat lebih banyak perhatian dari media akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya dan akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan terjadi sebaliknya bagi topic yang kurang mendapat perhatian media. Kandungan asumsi dasar dalam teori agenda setting ini secara symbolic barangkali terjadi dari beberapa contoh pemberitaan tentang tanggal 23 Desember 2007 yang diperkiraakan akan terjadi gempa dan tsunami melalui bidikan wartawan dari berbagai sisi selaku pelaku dalam mengkonstruk sebuah peristiwa, tidaklah salah rasanya kalau dalam tulisan ini berdasarkan kajian ilmiah terkadang kerap kali media massa melakukan penggiringan kepada masyarakat terhadap sebuah fakta dan isu yang terjadi melalui realitas yang telah terkonstruksikan dalam berita-berita media. Namun sekali lagi medialah yang membuat wacana ditengah masyarakat dan media pula yang tentunya akan menenggelamkan wacana tersebut dalam pemberitaannya.
Dari kasus di atas, secara praktis apakah akan terjadi sebuah bencana besar di Propinsi Bengkulu bukan kita yang mengatur, tapi ada pencipta dan pengendalinya yaitu Allah SWT, apakah benar predeksi yang menghiasi lembar-lembar Koran kita akhir-akhir ini, hanya Allah yang tahu, bukan ilmuan, bukan media bukan pula agamawan. Fungsi pengawas lingkungan yang diperankan oleh media boleh jadi sudah berjalan, namun ada kecenderungan pembenaran peristiwa di sini, bahwa seolah-olah media secara implisit membenarkan akan terjadinya bencana gempa dan tsunami, walahua’lam hanya Allah yang tahu.
2 komentar:
banyak hal yang menjadi modus beroperasinya sebuah media.
gmana tulisan berikutnya mas????
Posting Komentar