rthadi

HOME

Selasa, 12 Februari 2008

Kapitalisme Media Televisi dibalik tayangan Ramadhan

Ramadhan sebagai bulan penuh berkah, menjadi penantian dan pengharapan bagi setiap kalangan masyarakat, perolehan berkah yang dapat dinimati langsung dalam kehidupan duniawi dan pengaharapan berkah dalam kehidupan akhirat nanti. Alhasil, semaraknya bulan Ramadhan ini menghiasi diberbagai aktivitas keseharaian dalam tingkatan kehidupan masyarakat, ada sebagian masyarakat memanfaatkan moment Ramadhan ini sebagai bulan penempahan diri, bulan pengampunan dan pendidikan pengendalian hawa nafsu, ada juga bagi sebagian masyarakat bulan Ramadhan ini dijadikan sebagai bulan mengais rezeki. Hal ini dapat kita lihat dengan semaraknya masyarakat kelas menengah ke bawah yang menjual menu berbuka puasa di tempat-tempat padat penduduk, semisal di pasar, di perempatan jalan dan bahkan di depan rumahnya.
Indah dan semaraknya moment Ramadhan terlihat dari semangat ibadah masyarakat, baik secara individu maupun secara berjama’ah seperti sholat tarawih di masjid-masjid. Dalam aspek kehidupan yang berdimensi keduniaan juga turut semarak di bulan Ramadhan ini, seperti meningkatkannya daya beli dan konsumsi masyarakat, baik sandang maupun pangan, sehingga setiap pasar dan pusat pertokoan ramai sesak dikunjungi oleh masyarakat.
Tidak berbeda jauh dengan kehidupan dalam dunia maya, kesemarakan menyambut Ramadhan juga tampak dalam layar kaca, khususnya dalam dunia media massa. Para pengelola stasiun televisi berlomba-lomba mengemas acaranya dengan nuansa-nuansa keagamaan dan khususnya nuansa Ramadhan. Di samping mengemas acara-acara khusus yang bernuansa Islam dan Ramadhan, setiap station televisi juga senantiasa menyesuaikan acara-acara lama mereka dengan nuansa-nuansa Ramadhan, seperti reality show, berita, komedi, talk show, dan lain-lain. Bahkan iklan sekalipun, banyak dikemas dengan memanfaatkan ornamen Ramadhan.
Meskipun diakui bahwa keberadaan acara-acara Ramadhan di televisi memiliki beberapa nilai positifnya, namun acara-acara tersebut masih banyak mengedepankan aspek-aspek komersialnya dari pada unsur dakwah. Hal inilah yang membuat kiprah stasiun TV dalam menyemarakan Ramadhan masih banyak menuai kritik, kerapkali tuduhan keras terlontar bahwa TV hanya memanfaatkan Ramadhan sebagai ladang bisnis tahunan.
Kecaman terhadap media televisi yang dianggap memuat tontonan dan teks-teks kebodohan telah lama dikumandangkan banyak orang. Program-program seperti kuis, sinetron, gosip, mistik, kekerasan, dan sebagainya, dilabeli dengan berbagai cap: anti-logika, anti-kecerdasan, atau selera primitif. Dan seperti biasa, tombak-tombak intelektual ini ditangkis dengan tameng yang diproduksi paham positivisme dengan merek ‘selera masyarakat.’
Memang harus disadari bahwa televisi saat ini, telah tumbuh berkembang menjadi industri padat modal. Dalam hal ini sesuai dengan pendapat Shoemaker (dalam Heryanto, 1995), bahwa organisasi media merupakan entitas ekonomi. Sebagai capitalist venture media penyiaran beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis. Dalam pandangan Smynthe, fungsi utama media pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audiens bagi monopoli penjualan pengiklan. Stasiun-stasiun komersial tentunya memakai logika berpikir yang sama dalam memaknai Ramadhan, ada perubahan kondisi kejiwaan, perasaan dan selera dari khalayak. Perubahan ini ditangkap, kemudian dikomodifikasi dalam bentuk beragam format acara yang ‘memanjakan’ jiwa, perasaan dan selera khalayak tersebut.
Khalayak yang puas dengan pemakaian media akan berdampak pada komulasi modal. Dimmick dan RontenbuhleAr (dalam Heryanto, 1995) mengatakan bahwa ada tiga sumber kehidupan bagi media yakni content, capital dan audiences. Dengan content yang menarik, audiens akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai pilihanya. Kian banyak audiens yang menonton suatu program, maka kian tinggi pula ratting program tersebut. Akibat lebih lanjut, tentu saja para pengiklan akan semakin berminat memasang iklan pada program bersangkutan. Dalam konteks ini, tampilan media televisi yang kental dengan wajah industri tidak bisa dipersalahkan.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa media massa (khususnya televisi) dengan seenaknya memanfaatkan moment Ramadhan hanya untuk semata-mata meraup keuntungan lewat iklan dan sponsor, tanpa mempertimbangkan hak-hak publik untuk menikmati tayangan-tayangan yang berdimensi pendidikan dan religius untuk menyertai ibadah puasa yang sedang mereka kerjakan. Praktek-praktek komersialisasi tayangan Ramadhan dalam layar televisi merupakan bentuk hegemoni pemilik televisi yang berkolaborasi dengan pemilik modal dalam meninabobokan masyarakat. Televisi dan pemilik modal memanfaatkan moment Ramadhan sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan, dengan menggunakan ‘topeng’ bernuansa religius. Bentuk dan praktek hegemoni inilah yang harus terus ditantang dan dikritisi.
Dalam pandangan kamu inteletual media massa yang beraliran kritis, hadirnya tayangan maupun teks media massa di tengah-tangah masyarakat tidak dapat dipisahkan oleh berbagai kepentingan, baik kepentingan internal maupun kepentingan eksternal yang ada di luar media yang bersangkutan. Secara internal, media memiliki pertimbangan bagaimana mereka bisa tetap hadir dan memperoleh laba secara financial, di sisi ideologi media massa hidup dan tumbuh kembang di tengah masyarakat dengan beragam ideologi. Kepentingan-kepentingan inilah yang antara lain menjadi kecenderungan sebuah media dalam tayangannya.
Saat ini media penyiaran sudah menjadi industry yang bersifat kapitalistik, dunia capital tidak ubahnya ‘mata ditutup rapat yang penting ada peruntungan dari tayangan.’ Dari asumsi ini, tentu kita maklum sebagai sebuah industri mereka sarat dengan kepentingan ekonomi dalam meraih keuntungan dibalik kepentingan-kepentingan lain yang ada di luar media itu sendiri.
Lantas timbul pertanyaan besar, siapa yang harus dipersalahkan dengan tayangan televisi yang lebih dominan entertainment ketimbangan pendidikannya, dan lebih mempertimbangkan betahnya pelaku iklan, dengan memanifuasi ratting sebuah acara televisi? Pertanyaan-pertanyaan ini senada dengan artikel yang ditulis Gun Gun Heryanto (Harian Seputar Indonesia, 6 Oktober 2005) berjudul “Komodifikasi Ramadhan di Televisi” untuk memberian catatan kritis tentang fenomena televis selama Ramadhan. Heryanto mengkritik tindakan dan bahasa yang menyibolkan keagungan bulan Ramadhan yang berasal dari para aktor acara Ramadhan. Di samping itu, Heryanto juga mempertanyakan perimbangan acara yang bernuansa edukasi dan entertainment.
Menyoal hadirnya tayangan ramadhan dengan tema-tema yang bersifat religi, menjadi maind stream acara yang ditayangan berbagai stasiun televisi pada moment Ramadhan. Menurut Bungin (2005:164) hal ini dikarenakan pengelola televisi merasa lebih aman ketika menjual maind stream dari pada bersusah-susah melakukan ujicoba terhadap acara-acara baru, akhirnya tayangan ramadhan diberberapa stasiun televisi memiliki genre yang hampir mirip.
Harus diakui bahwa apabila suatu program acara siaran televisi telah diadopsi dan diikuti dengan acara ornamen Ramadhan yang sama genrenya oleh stasiun televisi lain, maka dapat dipastikan bahwa program siaran televisi tersebut sukses menyedot perhatian khalayak. Tayangan ramadhan yang bergenre religi keagamaan ini terbukti mampu mendongkrak perolehan iklan yang sangat signifikan. Kalau sudah demikian latas siapa yang mau dipersalahkan, industri televisi butuh pengiklan untuk memperoleh keuntungan, pengiklan butuh penonton untuk mempromosikan produknya, sementara penonton butuh hiburan yang ditayangkan televisi tersebut.
Diakhir tulisan ini hemat penulis, para pelaku media massa tentunya juga harus mempertimbangkan dampak dan pengaruhnya bagi masyarakat penonton, dibalik kepentingan ekonomi yang menjadi dominan dalam setiap tayangan, di sana ada juga hak penonon untuk mendapatkan tontonan yang berimbang dan mendidik. Dan menjadi tanggung jawab bersama bagaimana menumbuhkan melek media kepada masyarakat, dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat, supaya tidak tergesah-gesah menyamakan apa yang dikonstruksi oleh televisi sama dengan apa yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara nyata, sebagaiman yang telah ditegaskan dalam teori cultivation. Mari kita tumbuhkan masyarakat melek media, agar kita tidak menjadi masyarakat pop yang selalu mengikuti realitas hasil konstruksi televisi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

blognya lagi dalam proses jadi ya???????