rthadi

HOME

Rabu, 13 Februari 2008

Cultivation Theory dalam Kajian dan Aplikasi

Pendahuluan
Gagasan tentang cultivation theory atau teori kultivasi untuk pertama kalinya dikemukakan oleh George Gerbner bersama dengan rekan-rekannya di Annenberg School of Communication di Universitas Pannsylvania tahun 1969 dalam sebuah artikel berjudul the televition World of Violence. Artikel tersebut merupakan tulisan dalam buku bertajuk Mass Media and Violence yang disunting D. Lange, R. Baker dan S. Ball (eds).
Awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu? Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak” (Nurudin, 2004: 157). Menurut Wood (2000) kata ‘cultivation’ sendiri merujuk pada proses kumulatif dimana televisi menamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya.
Teori kultivasi muncul dalam situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects model) dengan kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media massa bersifat langsung dengan kelompok efek media massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran sosial-budaya ketimbang individual.
Menurut Signorielli dan Morgan (1990 dalam Griffin, 2004) analisis kultivasi merupakan tahap lanjutan dari paradigma penelitian tentang efek media, yang sebelumnya dilakukan oleh George Gerbner yaitu ‘cultural indicator’ yang menyelidiki: a) proses institusional dalam produksi isi media, b) image (kesan) isi media, dan c) hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah universitas pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka, lebih memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun (Dominick, 1990).
Gerbner bersama beberapa rekannya kemudian melanjutkan penelitian media massa tersebut dengan memfokuskan pada dampak media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation Analysis. Dari analisis tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisional yang kemudian banyak mengubah keyakinan orang tentang relasi antara televisi dan khalayaknya berikut berbagai efek yang menyertainya. Karena konteks penelitian ini dilakukan dalam kaitan merebaknya acara kekerasan di televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian ini lebih terkait efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi khalayaknya tentang dunia tempat mereka tinggal. Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewers) mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi menanamkan ketakutan sosial (sosial paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut antar anggota masyarakat, kemudian mengiktannya bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.

Asumsi/Esensi Teori
Secara keilmuan untuk menunjukan bahwa televisi sebagai media yang mempengaruhi pandangan kita terhadap realitas sosial, para peneliti cultivation analysis bergantung kepada empat tahap proses:
1. Message system analysis yang menganalisis isi program televisi.
2. Formulation of question about viewers’ sosial realities yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan seputar realitas sosial penonton televisi.
3. Survey the audience yaitu menanyakan kepada mereka seputar apa yang mereka konsumsi dari media, dan.
4. Membandingkan realitas sosial antara penonton berat dan orang yang jarang menonton televisi.
Keempat tahap ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis analisis:
1. Analisis isi (content analysis), yang mengidentifikasikan atau menentukan tema-tema utama yang disajikan oleh televisi.
2. Analisis khalayak (audience research), yang mencoba melihat pengaruh tema-tema tersebut pada penonton. (www.aber.uk/media/documents/short/cultiv.html).
Langkah utama untuk menguji teori kultivasi dalam studi awal adalah menentukan kandung isi televisi melalui analisis isi. Gerbner dan kawan-kawan mulai memetakan kandungan isi pada prime time dan program televisi bagi anak-anak diakhir pekan (weekend).
Di antara berbagai teori dampak media jangka panjang, cultivation analysis merupakan teori yang menonjol. Gerbner menyatakan bahwa televisi sebagai salah satu media modern, telah memperoleh tempat sedemikian rupa dan sedemikian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya.
Teori kultivasi melihat media massa sebagai agenda sosialisasi, dan menemukan bahwa penonton televisi dapat mempercayai apa yang ditampilkan oleh televisi berdasarkan seberapa banyak mereka menontonnya (www.asudayton/edu/com/faculty/kenny/cultivation.html). Berdasarkan banyaknnya waktu yang dihabiskan untuk menonton, maka penonton televisi dikelompokkan dalam dua kategori yakni light viewer (penonton ringan dalam arti menonton rata-rata dua jam perhari atau kurang dan hanya tayangan tertentu) dan heavy viewer (penonton berat), menonton rata-rata empat jam perhari atau lebih dan tidak hanya tayangan tertentu (Infante, et.al, 2003).

Asumsi dasar teori ini adalah:
1. Televisi merupakan media yang unik.
Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat:
a. Pervasive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga);
b. Assesible (dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan
c. Coherent (mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).
2. Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial.
Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. Namun teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat).
Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray world) ketimbang kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat di mana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat di mana banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri. Untuk itu orang harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara mereka.

3. Penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal), semantara penonton berat (heavy viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka.
Asumsi ini menyatakan, kelompok penonton yang termasuk kategori berat, umumnya memiliki akses dan kepemilikan media yang lebih terbatas. Karena itu mereka mengandalkan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan mereka. Karena keterpakuan pada satu media ini, membuat keragaman dan alternatif informasi yang mereka miliki menjadi terbatas. Itulah sebabnya kemudian mereka membentuk gambaran tentang dunia dalam pikirannya sebagaimana yang digambarkan televisi. Sebaliknya kelompk light viewers memiliki akses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif. Karena kenyataan ini, maka pengaruh televisi tidak cukup kuat pada diri mereka.
Menurut teori ini, media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Pengaruh tersebut tidak muncul seketika melainkan bersifat kumulatif dan tidak langsung. Inilah yang membedakan teori ini dengan The Hypodermic Needle Theory, atau sering juga disebut The Magic Bullet Theory, Agenda Setting Theory, Spiral Of Silence Theory. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa pengaruh yang muncul pada diri penonton merupakan tahap lanjut setelah media itu terlebih dahulu mengubah dan membentuk keyakinan-keyakinan tertentu pada diri mereka melalui berbabagai acara yang ditayangkan. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual.
Secara implisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media tersebut.

4. Terpaan pesan televisi yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan konsensus masyarakat.
Asumsi keempat toeri ini menyatakan bahwa terpaan televisi yang intens dengan frekuensi yang kerap dan terus menerus membuat apa yang ada dalam pikiran penonton televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi. Karena alasan ini kemudian mereka menganggap bahwa apapun yang muncul di televisi sebagai gambaran kehidupan sebenarnya, gambaran kehidupan yang disepakati secara konsensual masyarakat. Dalam konteks ini berarti, bila penonton melihat orang sumpah pocong di televisi, atau melihat adegan ciuman di antara dua orang yang masih pacaran dalam sebuah sinetron maka penonton tersebut menganggap hal itu sesuatu hal yang lumrah saja yang menganggap kehidupan nyata di lingkungannya.

5. Televisi membentuk mainstreaming dan resonance.
Asumsi kelima ini menegaskan bahwa televisi membentuk mainstreaming dan resonace. Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Gerbner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004). Mainstreaming diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (Tv stabilize and homogenize views within a society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (bluring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan (bending) perbedaan realitas yang beragam menjadi pandangan mainstream tersebut. Sedangkan resonance mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.

6. Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi.
Asumsi terakhir menyatakan bahwa perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi. Asumsi ini diajukan Gerbner pada tahun 1990 setelah menyaksikan perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa. Asumsi ini mengandung keyakinan bahwa teknologi pendukung tidak akan mengurangi dampak televisi sebagai sebuah media, malahan pada kanyataannya akan meneguhkan dan memperkuat.
Bukti utama asumsi cultivation analysis berasal dari analisis isi pesan televisi Amerika secara sistematis. Analisis itu dilakukan selama beberapa tahun dan menunjukan distorsi realitas yang konsisten dalam hubungannya dengan keluarga, pekerjaan dan peran, usia lanjut, mati dan kematian, pendidikan, kekerasan dan kejahatan. Isu ini memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diharapkan dari kehidupan bukanlah pesan yang membesarkan hati, khususnya bagi si miskin, kaum wanita dan minoritas rasial (Mc Quail, 1987: 254).
Jadi, meskipun televisi bukanlah satu-satunya sarana yang membentuk pandangan kita tentang dunia, televisi merupakan salah satu media yang paling ampuh, terutama bila kontak dengan televisi yang sangat sering dan berlangsung dalam waktu lama (Ardianto dkk, 2004: 65).

Aplikasi Teori
Teori kultivasi sering digunakan untuk menganalisis berbagai bentuk praktik komunikasi, terutama komunikasi massa khususnya televise apa yang kita kenal cultivation analysis. Berikut beberapa contoh aplikasi teori kultivasi:
Nancy Signorielli (Littlejohn, 1996) melaporkan studi tentang sindrom dunia kejam. Pada aksi kekerasan di program televisi bagi anak, lebih dari 2000 program termasuk 6000 karakter utama selama prime time dan akhir pekan (weekend) dari tahun 1967-1985, menganalisis dengan hasil yang menarik, 70% prime time dan 94% akhir pekan (weekend) termasuk aksi kekerasan. Analisis ini membuktikan heavy viewers memandang dunia muram dan kejam dibandingkan dengan orang yang jarang menonton televisi. Tidak salah jika kemudian Gerbner dan kawan-kawan melaporkan bahwa heavy viewers melihat dunia lebih kejam dan menakutkan seperti yang ditampilkan televisi dari pada orang-orang yang jarang menonton.
Contoh yang lain, para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi akan mengatakan sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang ditonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Pada hal bisa jadi sebab utama itu lebih karena keterkejutan budaya (cultural shock) dari tradisional ke kehidupan modern. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Sebagai contoh pencandu berat televisi menyatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan adalah 1 berbading 10. Dalam kenyataan angkanya adalah 1 berbanding 50. Pecandu berat televisi mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam diri di Amerika. Kenyataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan dalam posisi manajerial atau professional adalah 25%. Kenyataannya hanya 5% (Devito, 1997: 527, lihat juga Nurudin, 2004, Ardianto dkk, 2004). Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.
Di negara kita pada tiga tahun terakhir ini, program acara sinetron yang diputar televisi swasta Indonesia nyaris seragam. Misalnya Tersanjung, Pernikahan Dini, Kehormatan, dan lain-lain. Masing-masing sinetron tersebut membahas konflik antar orang tua dan anak serta hamil di luar nikah. Para pecandu berat televisi akan mengatakan bahwa di masyarakat sekarang banyak gejala hamil di luar nikah, karena televisi lewat sinetronnya banyak atau bahkan selalu menceritakan kasus tersebut. Bisa jadi pendapat tersebut tidak salah, tetapi itu terlalu menggeneralisasi kesemua lapisan masyarakat. Bahwa ada gejala hamil di luar nikah itu benar, tetapi mengatakan bahwa semua gadis hamil di luar nikah itu salah. Para pencandu sinetron itu sangat percaya bahwa apa yang terjadi pada masyarakat, itulah seperti yang dicerminkan dalam sinetron-sinetron.
Termasuk di sini konflik antara orang tua dan anak. Kognisi penonton akan mengatakan saat ini semua anak memberontak kepada orang tua tentang perbedaan antara keduannya, seperti “orang tua kuno, ketinggalan zaman.” Mereka yakin bahwa televisi adalah potret sesungguhnya dunia nyata. Padahal seperti yang bisa dilihat, tidak sedikit anak-anak yang masih hormat atau bahkan masih mengiyakan apa yang dikatakan orang tua mereka.
Pada kateori aplikasi teori kultivasi dalam kaca mata kekerasan, Gerbner juga berpendapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan, alih-alih perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi, seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang terjadi sebenarnya juga demikian. Jadi, kekerasan yang ditayangkan di televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang biasa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.
Jika kita menonton acara seperti Buser (SCTV), Patroli (Indosiar), Sergap (RCTI), Brutal (Lativi) dan TKP malam (TV7), akan terlihat beberapa perilaku kejahatan yang dilakukan masyarakat. Dalam acara tersebut tidak sedikit kejahatan yang bisa diungkap. Dalam pandangan kultivasi dikatakan adegan kekerasaan yang disajikan oleh televisi tersebut menggambarkan dunia kita yang sebenarnya. Para pecandu berat televisi akan beranggapan bahwa harus hati-hati keluar rumah karena kejahatan sudah mengincar kita, dan setiap orang tidak bisa dipercaya, boleh jadi kita akan menjadi korban selanjutnya dari kejahatan. Apa yang ditayangkan televisi tersebut dianggap bahwa di Indonesia kejahatan itu sudah sedemikian mewabah dan kuantitasnya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ini menggambarkan bagaimana dunia kejahatan yang ada di Indonesia.
Contoh lain sinetron yang lagi merebak sekarang di berbagai stasiun televisi kita, antara lain sinetron Rahasia ilahi yang hampir ditanyangkan oleh semua televisi swasta. Para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia realitas. Mereka beranggapan bahwa tuhan Islam itu kejam, pendendam, tukang siksa dan sebagainya. Seperti itulah anggapan orang terhadap tuhan Islam. Pada hal tuhan Islam (Allah SWT) yang sebenarnya adalah Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak seperti yang tergambarkan pada beberapa adegan pada sinetron Rahasia Ilahi.
Demikian sekelumit contoh-contoh aplikasi teori kultivasi. Teori kultivasi sebenarnya menawarkan kasus yang sangat masuk akal, khususnya dalam tekannya pada kepentingan televisi sebagai media dan fungsi simbolik di dalam konteks budaya. Akan tetapi, teori ini tidak lepas dari sasaran kritik. Gerbner telah dikritik karena terlalu menyederhanakan permasalahan. Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, tetapi oleh banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan kita dan sebagainya.
Walhasil, walau banyak kritik terhadap teori ini, namun demikian dalam kenyataannya teori ini memang dapat kita lihat pada masyarakat, terutama pada anak-anak. Anak sebagai penonton, masih mudah dipangaruhi oleh pesan-pesan yang disajikan televisi. Walahu’alam.
*****


DAFTAR PUSTAKA


Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala E. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Devito, Joseph A., 1997. Komunikasi Antarmanusia Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books.

Dominick, Joseph R. 1990. The Dynamick of Mass Communication. New York: Random House.

Griffin, Emory A. 2004. A First Look At Communication Theory. New York: McGraw-Hill.

Infante, Dominic A, Andrew S. Rancer & Deanna F. Womack. 2003. Building Communication Theory. Long Grove: Waveland Press.

Mc Quail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Cespur.

Wood, JT. 2000. Communication Theories in Action. Calofornia: Belmont

www.aber.uk/media/documents/short/cultiv.html, Cultivation Theory Week Eleven Lecture 24, cultivation theory by George Gerbner.

www.asudayton/edu/com/faculty/kenny/cultivation.html, George Gerbner Cultivation Theory.

Selasa, 12 Februari 2008

Kapitalisme Media Televisi dibalik tayangan Ramadhan

Ramadhan sebagai bulan penuh berkah, menjadi penantian dan pengharapan bagi setiap kalangan masyarakat, perolehan berkah yang dapat dinimati langsung dalam kehidupan duniawi dan pengaharapan berkah dalam kehidupan akhirat nanti. Alhasil, semaraknya bulan Ramadhan ini menghiasi diberbagai aktivitas keseharaian dalam tingkatan kehidupan masyarakat, ada sebagian masyarakat memanfaatkan moment Ramadhan ini sebagai bulan penempahan diri, bulan pengampunan dan pendidikan pengendalian hawa nafsu, ada juga bagi sebagian masyarakat bulan Ramadhan ini dijadikan sebagai bulan mengais rezeki. Hal ini dapat kita lihat dengan semaraknya masyarakat kelas menengah ke bawah yang menjual menu berbuka puasa di tempat-tempat padat penduduk, semisal di pasar, di perempatan jalan dan bahkan di depan rumahnya.
Indah dan semaraknya moment Ramadhan terlihat dari semangat ibadah masyarakat, baik secara individu maupun secara berjama’ah seperti sholat tarawih di masjid-masjid. Dalam aspek kehidupan yang berdimensi keduniaan juga turut semarak di bulan Ramadhan ini, seperti meningkatkannya daya beli dan konsumsi masyarakat, baik sandang maupun pangan, sehingga setiap pasar dan pusat pertokoan ramai sesak dikunjungi oleh masyarakat.
Tidak berbeda jauh dengan kehidupan dalam dunia maya, kesemarakan menyambut Ramadhan juga tampak dalam layar kaca, khususnya dalam dunia media massa. Para pengelola stasiun televisi berlomba-lomba mengemas acaranya dengan nuansa-nuansa keagamaan dan khususnya nuansa Ramadhan. Di samping mengemas acara-acara khusus yang bernuansa Islam dan Ramadhan, setiap station televisi juga senantiasa menyesuaikan acara-acara lama mereka dengan nuansa-nuansa Ramadhan, seperti reality show, berita, komedi, talk show, dan lain-lain. Bahkan iklan sekalipun, banyak dikemas dengan memanfaatkan ornamen Ramadhan.
Meskipun diakui bahwa keberadaan acara-acara Ramadhan di televisi memiliki beberapa nilai positifnya, namun acara-acara tersebut masih banyak mengedepankan aspek-aspek komersialnya dari pada unsur dakwah. Hal inilah yang membuat kiprah stasiun TV dalam menyemarakan Ramadhan masih banyak menuai kritik, kerapkali tuduhan keras terlontar bahwa TV hanya memanfaatkan Ramadhan sebagai ladang bisnis tahunan.
Kecaman terhadap media televisi yang dianggap memuat tontonan dan teks-teks kebodohan telah lama dikumandangkan banyak orang. Program-program seperti kuis, sinetron, gosip, mistik, kekerasan, dan sebagainya, dilabeli dengan berbagai cap: anti-logika, anti-kecerdasan, atau selera primitif. Dan seperti biasa, tombak-tombak intelektual ini ditangkis dengan tameng yang diproduksi paham positivisme dengan merek ‘selera masyarakat.’
Memang harus disadari bahwa televisi saat ini, telah tumbuh berkembang menjadi industri padat modal. Dalam hal ini sesuai dengan pendapat Shoemaker (dalam Heryanto, 1995), bahwa organisasi media merupakan entitas ekonomi. Sebagai capitalist venture media penyiaran beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis. Dalam pandangan Smynthe, fungsi utama media pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audiens bagi monopoli penjualan pengiklan. Stasiun-stasiun komersial tentunya memakai logika berpikir yang sama dalam memaknai Ramadhan, ada perubahan kondisi kejiwaan, perasaan dan selera dari khalayak. Perubahan ini ditangkap, kemudian dikomodifikasi dalam bentuk beragam format acara yang ‘memanjakan’ jiwa, perasaan dan selera khalayak tersebut.
Khalayak yang puas dengan pemakaian media akan berdampak pada komulasi modal. Dimmick dan RontenbuhleAr (dalam Heryanto, 1995) mengatakan bahwa ada tiga sumber kehidupan bagi media yakni content, capital dan audiences. Dengan content yang menarik, audiens akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai pilihanya. Kian banyak audiens yang menonton suatu program, maka kian tinggi pula ratting program tersebut. Akibat lebih lanjut, tentu saja para pengiklan akan semakin berminat memasang iklan pada program bersangkutan. Dalam konteks ini, tampilan media televisi yang kental dengan wajah industri tidak bisa dipersalahkan.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa media massa (khususnya televisi) dengan seenaknya memanfaatkan moment Ramadhan hanya untuk semata-mata meraup keuntungan lewat iklan dan sponsor, tanpa mempertimbangkan hak-hak publik untuk menikmati tayangan-tayangan yang berdimensi pendidikan dan religius untuk menyertai ibadah puasa yang sedang mereka kerjakan. Praktek-praktek komersialisasi tayangan Ramadhan dalam layar televisi merupakan bentuk hegemoni pemilik televisi yang berkolaborasi dengan pemilik modal dalam meninabobokan masyarakat. Televisi dan pemilik modal memanfaatkan moment Ramadhan sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan, dengan menggunakan ‘topeng’ bernuansa religius. Bentuk dan praktek hegemoni inilah yang harus terus ditantang dan dikritisi.
Dalam pandangan kamu inteletual media massa yang beraliran kritis, hadirnya tayangan maupun teks media massa di tengah-tangah masyarakat tidak dapat dipisahkan oleh berbagai kepentingan, baik kepentingan internal maupun kepentingan eksternal yang ada di luar media yang bersangkutan. Secara internal, media memiliki pertimbangan bagaimana mereka bisa tetap hadir dan memperoleh laba secara financial, di sisi ideologi media massa hidup dan tumbuh kembang di tengah masyarakat dengan beragam ideologi. Kepentingan-kepentingan inilah yang antara lain menjadi kecenderungan sebuah media dalam tayangannya.
Saat ini media penyiaran sudah menjadi industry yang bersifat kapitalistik, dunia capital tidak ubahnya ‘mata ditutup rapat yang penting ada peruntungan dari tayangan.’ Dari asumsi ini, tentu kita maklum sebagai sebuah industri mereka sarat dengan kepentingan ekonomi dalam meraih keuntungan dibalik kepentingan-kepentingan lain yang ada di luar media itu sendiri.
Lantas timbul pertanyaan besar, siapa yang harus dipersalahkan dengan tayangan televisi yang lebih dominan entertainment ketimbangan pendidikannya, dan lebih mempertimbangkan betahnya pelaku iklan, dengan memanifuasi ratting sebuah acara televisi? Pertanyaan-pertanyaan ini senada dengan artikel yang ditulis Gun Gun Heryanto (Harian Seputar Indonesia, 6 Oktober 2005) berjudul “Komodifikasi Ramadhan di Televisi” untuk memberian catatan kritis tentang fenomena televis selama Ramadhan. Heryanto mengkritik tindakan dan bahasa yang menyibolkan keagungan bulan Ramadhan yang berasal dari para aktor acara Ramadhan. Di samping itu, Heryanto juga mempertanyakan perimbangan acara yang bernuansa edukasi dan entertainment.
Menyoal hadirnya tayangan ramadhan dengan tema-tema yang bersifat religi, menjadi maind stream acara yang ditayangan berbagai stasiun televisi pada moment Ramadhan. Menurut Bungin (2005:164) hal ini dikarenakan pengelola televisi merasa lebih aman ketika menjual maind stream dari pada bersusah-susah melakukan ujicoba terhadap acara-acara baru, akhirnya tayangan ramadhan diberberapa stasiun televisi memiliki genre yang hampir mirip.
Harus diakui bahwa apabila suatu program acara siaran televisi telah diadopsi dan diikuti dengan acara ornamen Ramadhan yang sama genrenya oleh stasiun televisi lain, maka dapat dipastikan bahwa program siaran televisi tersebut sukses menyedot perhatian khalayak. Tayangan ramadhan yang bergenre religi keagamaan ini terbukti mampu mendongkrak perolehan iklan yang sangat signifikan. Kalau sudah demikian latas siapa yang mau dipersalahkan, industri televisi butuh pengiklan untuk memperoleh keuntungan, pengiklan butuh penonton untuk mempromosikan produknya, sementara penonton butuh hiburan yang ditayangkan televisi tersebut.
Diakhir tulisan ini hemat penulis, para pelaku media massa tentunya juga harus mempertimbangkan dampak dan pengaruhnya bagi masyarakat penonton, dibalik kepentingan ekonomi yang menjadi dominan dalam setiap tayangan, di sana ada juga hak penonon untuk mendapatkan tontonan yang berimbang dan mendidik. Dan menjadi tanggung jawab bersama bagaimana menumbuhkan melek media kepada masyarakat, dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat, supaya tidak tergesah-gesah menyamakan apa yang dikonstruksi oleh televisi sama dengan apa yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara nyata, sebagaiman yang telah ditegaskan dalam teori cultivation. Mari kita tumbuhkan masyarakat melek media, agar kita tidak menjadi masyarakat pop yang selalu mengikuti realitas hasil konstruksi televisi.

Konstruksi Realitas 23 Desember dalam Pemberitaan Media Cetak Lokal

Maraknya berita tentang isu akan terjadinya tsunami pada tanggal 23 Desember 2007 yang ada di media cetak local akhir-akhir ini juga seirama dengan kebutuhan masyarakat akan informasi seputar gempa dan tsunami. Pentingnya akan sebuah berita yang disuguhkan oleh media massa tentu tidak terlepas dari kekuasaan yang melekat pada dirinya, media massa memiliki ideologi dan kepentingan tersendiri dibalik pemberitaannya. Kemasan-kemasan akan kepentingan itulah yang akan membingkai media dalam mengkonstruksi sebuah peristiwa. Katakanlah kemasan tentang kasus Dispendagate dan dukungan pro dan kontra terhadap gubernur Agusrin, penempatan posisi berita sebagai headline dan berada di halaman tertentu, itu juga hak otonom kebijakan redaksional sebuah media.
Demikian juga halnya dengan pemberitaan tanggal 23 Desember yang diisukan akan terjadi gempa bumi dengan skala besar dan gelombang tsunami, karena media sudah menganggap bahwa berita itu penting, maka masyarakatpun akan menganggap penting. Kita memang tahu bahwa Bengkulu merupakan daerah rawan gempa bumi, tapi sebelum sebuah media cetak lokal menerbitkan berita tentang prediksi Profesor asal Brasil bahwa akan terjadi gempa bumi tanggal 23 Desember2007 yang menghebohkan tersebut masyarakat bersikap wajar-wajar saja dalam menghadapi gempa, walaupun kerapkali kita temui hampir setiap ada gempa dengan skala tinggi di atas 6 SR, gelombang pengungsi sering terjadi.
Sikap was-was dan cemas, antara yakin dan tidak akan terjadinya bencana besar tersebut, media sudah berhasil ‘menggiring’ opini masyarakat dan membelenggu psikologi masyarakat dalam ranah ketidak menentuan. Di setiap pagi ketika membuka dan membaca lembar demi lembar media cetak lokal kita, tidaklah sulit untuk menjumpai berita tentang gempa bumi, seakan-akan bencana itu benar-benar akan terjadi. Mulai dari pemberitaan tanggapan dan komentar dari para tokoh agama dan tokoh masyarakat, dzikir akbar dan kegiatan penghambaan lainnya, langkah-langkah antisipasi yang diambil oleh pemerintah daerah dalam menangani bencana yang akan terjadi, simulasi bencana dan kebijakan-kebijakan taktis lainnya. Bahkan hal-hal yang langkah, unik dan luar biasapun tidak luput dari pemberitaan media seperti kacang merah yang bertuliskan Lailahailaullah, badan kucing yang bertuliskan Allah, penampakan di masjid, bekas jalan anai-anai yang mirip tulisan bismillahirrahmanirrahim dan daun salam yang bisa bergerak yang mempunyai dua kaki kanan dan tiga kaki kiri. Kesemua kejadian langkah dan unik itu tidak pernah lepas dan selalu dihubungkan dengan tanggal 23 Desember yang akan datang, dengan berbagai kejadian dan persitiwa itu seakan-akan dibalik akal dan logika dan keyakinan akan tuhan sang pencipta alam semesta, bahwa musibah itu benar adanya.
Perwajahan berita-berita tersebut dalam menghias lembar demi lembar halam media cetak, tentu tidak semua merupakan keinginan masyarakat sebagai khalayak konsumsi output media, tapi posisi masyarakat sebagai khalayak yang pasif tidak mampu berbuat banyak. Posisi ini menjadikan masyarakat sebagai ‘penerima berita,’ dan kekuasaan sesungguhnya ada di tubuh media massa. Walaupun secara internal dan eksternal, media massa baik cetak maupun elektronik memiliki fungsi dan peran tertentu dibalik kepentingan-kepentingan yang membelenggunya. Secara internal media butuh biaya operasional dalam ‘kerja-kerja kemanusiaannya’ sementara secara eksternal media massa dikelilingi oleh beragama kepentingan, baik penguasa maupun masyarakat secara luas. Dari peran dan fungsi serta posisi media massa itu sendiri, tentu saja hegemoni dibalik sebuah pemberitaan tetap berada dalam kontrol media massa yang bersangkutan.
Layak dan tidak layaknya sebuah fakta dan peristiwa yang dikonstruksi menjadi sebuah berita kembali berpulang pada kebijakan meja redaksi, demikian halnya dengan berita-berita politik daerah, isu gempa dan tsunami maupun berita yang lainnya. Media mempunyai kemampuan itu menganggap berita itu penting dan tidaknya, ibarat sebuah rating dalam dunia iklan dan tayangan dalam dunia televisi. Media cetaklah yang menentukan berita mana yang ratingnya tinggi di tengah-tengah masyarakat dan mana yang tidak, boleh jadi yang masuk kategori tinggi adalah berita dukungan massa demo pro dan kontra terhadapat gubernur Bengkulu dan isu gempa tanggal 23 Desember. Berbanding terbalik dengan media televisi yang menentukan rating dengan melakukan survey kuantitatif kepada pemirsa, sementara ‘rating’ dalam media cetak ditentukan langsung oleh selera dan kecenderungan media cetak yang bersangkutan.
Uraian di atas dalam kajian komunikasi khususnya komunikasi massa, sejalan dengan Agenda Setting Theory, dengan dasar pemikirannya bahwa di antara berbagai topic yang dimuat media massa, topik yang mendapat lebih banyak perhatian dari media akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya dan akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan terjadi sebaliknya bagi topic yang kurang mendapat perhatian media. Kandungan asumsi dasar dalam teori agenda setting ini secara symbolic barangkali terjadi dari beberapa contoh pemberitaan tentang tanggal 23 Desember 2007 yang diperkiraakan akan terjadi gempa dan tsunami melalui bidikan wartawan dari berbagai sisi selaku pelaku dalam mengkonstruk sebuah peristiwa, tidaklah salah rasanya kalau dalam tulisan ini berdasarkan kajian ilmiah terkadang kerap kali media massa melakukan penggiringan kepada masyarakat terhadap sebuah fakta dan isu yang terjadi melalui realitas yang telah terkonstruksikan dalam berita-berita media. Namun sekali lagi medialah yang membuat wacana ditengah masyarakat dan media pula yang tentunya akan menenggelamkan wacana tersebut dalam pemberitaannya.
Dari kasus di atas, secara praktis apakah akan terjadi sebuah bencana besar di Propinsi Bengkulu bukan kita yang mengatur, tapi ada pencipta dan pengendalinya yaitu Allah SWT, apakah benar predeksi yang menghiasi lembar-lembar Koran kita akhir-akhir ini, hanya Allah yang tahu, bukan ilmuan, bukan media bukan pula agamawan. Fungsi pengawas lingkungan yang diperankan oleh media boleh jadi sudah berjalan, namun ada kecenderungan pembenaran peristiwa di sini, bahwa seolah-olah media secara implisit membenarkan akan terjadinya bencana gempa dan tsunami, walahua’lam hanya Allah yang tahu.