Realitas Media - Robeet Thadi
Realitas yang ditampilkan media massa adalah realitas yang sudah terkonstruksi, berita yang hadir merupakan hasil internalisasi berbagai kepentingan dari pertarungan wacana yang ada di lapangan....
rthadi
HOME
Rabu, 22 Januari 2014
Minggu, 12 Mei 2013
NGOPINI
EFEK
MASS MEDIA DALAM PEMILU
Oleh:
Robeet Thadi, M.Si
INTRIK
politik menjelang pemilu 2014 semakin TERASA, hal ini semakin terlihat jika
kita membuka lembar demi lembar surat kabar dan ulasan acara di televisi yang tak
pernah kering menyoal seputar pemilu. Beberapa stasiun televisi berlomba-lomba menghadirkan
informasi pemilu sebanyak dan seaktual mungkin. Mulai
dari acara talk show, debat kandidat, dialog, atau poling sms. Demikan halnya dengan surat kabar,
beberapa surat kabar nasional dan daerah menghiasi lembaran korannya dengan
beragam berita seputar pemilu dan calon peserta pemilu, bahkan terjadi
penambahan rubric khusus seputar pemilu.
Fenomena ini merupakan gambaran dari peran penting media
dalam suatu pemilihan umum (election) seperti dikemukakan oleh Oskamp
& Schultz (1998), yakni memusatkan perhatian pada kampanye, menyediakan
informasi akan kandidat dan isu seputar pemilu. Pertanyaan besar yang sering
dilemparkan ialah, bagaimana media mempengaruhi wawasan politik, sikap dan
perilaku masyarakat?
Media memiliki kemampuan untuk ‘mengatur’ masyarakat, not
what to think, but what to think about. Penjelasan pada kalimat yang
‘indah’ ini ialah media cenderung mengarahkan masyarakat memikirkan hal-hal
yang tersaji dalam menunya, bukan apa yang sebenarnya terjadi di sekitar
masyarakat itu sendiri. Saat media A berbicara tentang Fatwa MA tentang Pilwakot dan Fatwa MK tentang Sengketa Pilkada, merembet pada
media lain, masyarakat pun ikut terlena di dalamnya. Media
mampu menggeser agena lain yang sebenarnya lebih tinggi nilai beritanya.
Melihat
demikian dominan pengaruh media dalam menggiring perilaku masyarakat pada suatu
situasi tertentu alih-alih ikut kata media, tentu peluang ini tidak akan disia-siakan
oleh aktor politik (caleg) untuk mendapatkan efek dari kuatnya pengaruh media
massa. Seperti telah
disinggung diawal bahwa peran utama media dalam suatu pemilihan umum ialah
menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta
berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. Walaupun mungkin tidak memberi dampak langsung untuk merubah perolehan
jumlah suara, namun media tetap mampu mempengaruhi banyaknya suara yang
terjaring dalam suatu pemilu. Akibatnya
setiap caleg berusaha mendapatan perhatian media untuk memperoleh keuntungan
dari berita dan iklan yang diterbitkannya.
Jadi, jangan
terlalu yakin jika poling-poling sms di berbagai stasiun televisi dan poling caleg di
surat kabar itu tidak memiliki
dampak apa-apa, setidaknya besarnya angka poling pada pihak A atau calon A, akan mengusik atau menciutkan hati pihak B, atau
lainnya. Masyarakat yang mengidolakan atau akan memilih capres-cawapres D
misalnya, ‘mau nggak mau dipaksa untuk ‘meringis’ tatkala melihat
jagonya berada di urutan buncit dalam poling sms, meski hampir semua percaya
bahwa itu bukan representasi masyarakat Indonesia, tapi bukankah demikian efeknya
orang lebih percaya media daripada fakta yang ada. (**)
Opini: SERIBU WAJAH CALEG
SERIBU
WAJAH CALEG
Oleh
Robeet Thadi, M.Si
PEMILU caleg DPD, DPR/DPRD semakin dekat, bermodalkan
bahasa sosialisasi banyak cara caleg untuk mengenalkan dirinya kepada
masyarakat. Tidak jarang kita temukan disetiap persimpangan jalan baliho para
caleg dengan wajah diclose up secara
total, sampai-sampai kita berdecak kagum, wah…cantik sekali, benar gak si A ya?
Bahkan hampir disetiap pohon dipinggir jalan ada penghuninya, tapi bukan hantu
lho…melainkan gambar caleg. Interaksi simbolik caleg tidak hanya terbatas pada
visualisasi wajah dibaleho, nuansa simbolik dan simbolisasi bahwa saya seorang
caleg juga diperankan oleh para kandidat disetiap aktivitas panggung depan.
Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini
ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas panggung,
yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran
tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan
perilaku nonverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya
kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam
situasi tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah,
menjaga kendali diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan
wajah yang sesuai dengan situasi. Apalagi sebuah harapan apa yang diperankan aktor
berbuah dukungan dari masyarakat di DP pencalegannya.
Banyak peran yang dimainkan oleh caleg
dipanggung depannya terkadang pertolak belakang dengan panggung belakang, ketika
dipanggung depan dia seorang caleg tentu harus berperilaku sebagai seorang
caleg yang harus berwibawa dan cerdas diyakini bertanggungjawab. Namun ketika
dia berada di rumah, sang caleg boleh jadi dia adalah sang ayah yang harus
berperan sebagai orang tua, yang mengayomi, mendidik dan membesarkan anaknya
dengan penuh kasih sayang. Mungkin tanpa kita
sadari, itu semua terjadi dalam setiap ‘adegan,’ pada sebuah ‘sandiwara’
kehidupan. Dunia
ini tak ubahnya panggung sandiwara, setiap kita punya panggung depan dan
panggung belakang, kitalah pemain drama dalam kehidupan.
Sebagai caleg yang sedang memainkan drama
dalam panggung politik, panggung depan yang ditampilkan tuntunya bukanlah
manipulasi seribu wajah agar mendapatkan dukungan semata dan terpilih menjadi
anggota legislatif, tapi panggung depan itu merupakan simbolisasi sang kandidat
dalam dunia politik ketika memainkan peran sebagai aktor politik dalam drama
politik.(**)
NGOPINI
POLITIK sebagai KOMUNIKASI
Oleh:
Robeet Thadi, M.Si
POLITIK dalam kacamata sosial medapatkan pandangan beragam, mulai yang
berkonotasi positif hingga yang berkonotasi negatif. Banyak orang yang alergi
jika mendengar kata politik, segala hal yang
“dipolitisir” mengandung makna negatif di telinga orang yang mendengarnya; politik dalam kantor, pendidikan yang “dipolitisir,” seni yang “dipolitisir,” hankam yang “dipolitisir,” semuanya berkonotasi negatif dan memerahkan kuping yang mendengarnya.
Kata “politik” dalam konteks komunikasi sudah lama memperoleh nada jelek, slogan-slogan bernada sinis tentang politik juga tumpah ruah dalam wacana
masyarakat kita. Sebut saja, “politik itu kotor,” “politik itu kejam,” “tak ada teman dalam politik,” “kekuasaan cenderung untuk korup,” dan berderet-deret slogan negatif lainnya. Alhasil, bagi banyak orang,
entah itu politikus atau bukan, politik itu digenangi oleh intrik, diselimuti
penipuan, manuver-manuver ambisius yang tidak jujur, dominasi, sikap-sikap
munafik, dan kekerasan. Semua pengertian negatif tersebut sesungguhnya
merupakan penyelewengan dari makna politik sebenarnya.
Politik sebagai komunikasi, Hannah Arendt, seorang filsuf perempuan Jerman, memiliki pandangan yang
lain tentang politik. Menurutnya “politik adalah
kegiatan partisipatif komunikatif,” dipertegas Arendt dalam tulisannya “antara pihak-pihak yang bebas dan setara, yang dilakukan di dalam ruang
publik sebuah komunitas.” Institusi yang demokratis itu bertugas
menjaga agar komunikasi dalam ruang publik politis terus berjalan. Dengan kata
lain, tindakan komunikatif ini adalah “roh” atau “nyawa” dari seluruh kehidupan
politis masyarakat.
Dalam pandangan kritis, aktivitas politis merupakan aktivitas bebas tekanan antara orang-orang yang
berkedudukan setara. Segala bentuk dominasi, penggunaan kekerasan, paksaan,
monopoli haruslah disingkirkan dari arena politis, karena hanya dengan
“keharusan” semacam itulah tatanan ruang publik yang sehat dapat tercipta. Di
samping itu, aktivitas politik juga merupakan aktivitas tindakan komunikatif
antara individu-individu yang saling mengungkapkan kediriannya.
Lewat proses
pengungkapan kedirian itu, individu-individu dalam masyarakat yang majemuk akan
semakin menegaskan identitasnya, dan memperoleh hidup yang bermakna. Dengan
aktivitas politis, orang membangun jaringan relasi satu sama lain, dan jaringan
relasi itu, akhirnya, memungkinkan lahirnya solidaritas. Kekuasaan dapat
diperoleh dari solidaritas tersebut. Dengan kata lain, kekuasaan adalah solidaritas,
dan solidaritas adalah kekuasaan.
Kalau kita menilik kembali sejarah
perjuangan bangsa Indonesia sebelum merdeka, Indonesia adalah komunitas politis yang sendi-sendinya terbangun melalui
proses komunikasi. Ia lahir dari kehendak bebas individu-individu yang
membangun relasi bebas dan setara satu sama lain. Dengan kata lain,
terbentuknya Indonesia merupakan bentuk pelepasan masing-masing individu dari
perspektif kesukuannya untuk mencapai kebebasan melalui proses komunikasi
intersubyektif yang bebas dan setara.
Individu-individu,
pada awalnya, mulai “meninggalkan” keluarganya dan memasuki arena publik untuk
berkomunikasi dengan individu lainnya. Dalam komunikasi dengan individu lain
tersebut, harapan dan tujuan bersama pun akhirnya terbentuk. Setelah itu,
individu-individu yang saling berkomunikasi secara jujur, bebas, dan setara
itu, akan berjuang bersama untuk mencapai cita-cita dan harapan bersama
tersebut. Komunikasi pun akan melebarkan ruang-ruangnya. Ia tidak lagi
membatasi diri pada pembangunan jaringan di dalam suatu organisasi, tetapi
meluas menjadi antar organisasi. Puncak kulminasi komunikasi tersebut dapat
kita lihat pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dalam masyarakat Indonesia kekinian
apakah proses politik sebagai komunikasi di atas memiliki rajutan harapan yang
sama dalam membangun kebersamaan menuju masyarakat Indonesia yang adil dan
sejahtera, melalui optimalisasi ruang public dalam membangun masyarakat
komunikatif? Karena pada akhirnya aktivitas
masyarakat tersebut akan melahirkan institusi politis.
Dalam arti ini, institusi politis adalah organisasi sosial ruang publik yang
terbentuk dari tindakan komunikatif warga-warganya. Ia bertugas untuk menjaga
agar warganya tetap saling berkomunikasi, sehingga ruang publik politis yang
sehat dan kritis tetap eksis. (**)
Jumat, 10 Mei 2013
NGOPINI
‘Public Opinion’ dalam Hegemoni
Konglomerasi Media Televisi
Oleh: Robeet Thadi, M.Si
Keberadaan kita sebagai manusia di
era informasi menjadi masyarakat konsumtif, hampir disetiap sisi kehidupan kita
selalu diterpah oleh media massa. Media massa merupakan media yang memiliki
posisi sangat penting terutama dalam pemenuhan kebutuahan yang serba instan.
Institusi media massa dipercaya memiliki kemampuan dalam penyelenggaraan
produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara siginifikan. Serangkaian
simbol yang memberikan meaning tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam
kehidupan bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga
bisa diakses anggota masyarakat secara luas.
Di antara media massa lainnya,
televisi memang primadonanya. Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif
murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi. Tak seorang
pun meragukan kedigjayaan media massa televisi. Betapa dominannya posisi
televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun individu. Namun, di balik
kuatnya posisi tersebut, industri televise menghadirkan sederet permasalahan.
Ini terutama disebabkan oleh content televisi yang acap mengabaikan fungsi
pendidikan atau pencerdasan khalayak. Sebagian besar produk televisi adalah
program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional
serta mengandung unsur-unsur hegemoni tertentu yang terkadang bersifat
sensasional.
Setalah era reformasi menggelinding
di negara kita, diikuti pula kebebasan media massa yang tidak lagi menjadi
corong bagi penguasa. Akan tetapi tidak berarti dengan serta merta media massa
terutama televisi bebas dari control pihak tertentu. Media massa memang bukan lagi
menjadi corong penguasa, tetapi media massa tidak pernah lepas dari intervensi
sang pemilik modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang nota bene memiliki
beragam kepentingan, menyangkut kepentingan ekonomi, politik dan ideologi
tertentu.
Media televisi diyakini mampu menanamkan opini dan
menggiring opini masyarakat kepada sebuah keputusan tertentu, penumbuhan opini
public ini tentu bukan terjadi secara sengaja dan itu sebuah realitas di
masyarakat, tetapi tidak bisa lepas dari berbagai hegemoni dominan pemilik modal dan penguasa dengan
berbagai kepentingannya. Dalam media penyiaran televisi kalau kita petakan
secara global maka akan terpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7
dan Trans TV dibawa payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh
Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak
selaku pemilik di Indonesia adalah Hary Tanoesoedibyo, Lativi dan ANTV bernaung
di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal Bakrie, SCTV yang
sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir
Metro TV dengan pimpinannya yang termasyhur Surya Palo.
Nama-nama di atas adalah orang-orang
yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan, sebagian
di antaranya ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada
pula yang merupakan tokoh penting pada salah satu partai. Tidak menutup
kemungkinan mereka membangun media untuk memuluskan kepentingannya dalam hal perpolitikan
dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media. Hal ini dapat dilihat dari
wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal
kepentingan penguasa seperti yang baru-baru ini terlihat bagaiman televisi
ramai ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar dan Tragedi Monas yang melibatan arogansi
Front Pembela Islam terhadap Aliansi kebebasan untuk kebebasan beragama. Padahal
di sisi lain masih banyak agenda-agenda penting lainnya yang harus diketahui
oleh publik. Tapi inilah agenda media, masyarakat akan mengikutinya.
Media memiliki kekuatan dalam
menentukan agendanya, mana yang mereka anggap penting akan dianggap penting
juga oleh masyarakat dan agenda itu mampu menggeser agenda-agenda besar yang
sedang berkembang di masyarakat. Banyak agenda yang bergeser seperti penyelesaian
kasus lumpur Lapindo, yang sampai saat
ini masih jauh dari kata “beres,” kasus kenaikan BBM yang menimbulkan banyak
persoalan. Bahkan acapkali media membuat bias makna dan menggiring kepada
sistem nilai tertentu, padahal salah satu hak yang harus didapat masyarakat
dari media adalah mereka mendapatkan Diversity
Informasi.
Tentu saja konglomerasi media ini
sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan mengingat pengaruh
media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen
habemas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public sphere yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan
kepentingan.
Mengapa agenda-agenda beser tadi
mengalami pergeseran dalam pemberitaannya, semua ada dalam kendalai meja
redaksi yang tidak bisa lepas dari pengaruh dominan pemilik modal dan idologi
yang diusung. Penguasa tentu akan perupaya agar media massa menyelamatkan
posisinya dengan jalan harus dikendalikan. Asumsi ini menegaskan betapa media
massa yang berada dalam payung konglomerasi industri penyiaran dengan berbagai
kepentingannya mampu menggiring opini yang berkembang di masyarakat menjadi
sebuah konsensus, apa yang dianggap penting oleh media akan menjadi penting
pula bagi publik. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti
sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan
merawat ketaatan publik.
Langganan:
Postingan (Atom)