‘Public Opinion’ dalam Hegemoni
Konglomerasi Media Televisi
Oleh: Robeet Thadi, M.Si
Keberadaan kita sebagai manusia di
era informasi menjadi masyarakat konsumtif, hampir disetiap sisi kehidupan kita
selalu diterpah oleh media massa. Media massa merupakan media yang memiliki
posisi sangat penting terutama dalam pemenuhan kebutuahan yang serba instan.
Institusi media massa dipercaya memiliki kemampuan dalam penyelenggaraan
produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara siginifikan. Serangkaian
simbol yang memberikan meaning tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam
kehidupan bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga
bisa diakses anggota masyarakat secara luas.
Di antara media massa lainnya,
televisi memang primadonanya. Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif
murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi. Tak seorang
pun meragukan kedigjayaan media massa televisi. Betapa dominannya posisi
televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun individu. Namun, di balik
kuatnya posisi tersebut, industri televise menghadirkan sederet permasalahan.
Ini terutama disebabkan oleh content televisi yang acap mengabaikan fungsi
pendidikan atau pencerdasan khalayak. Sebagian besar produk televisi adalah
program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional
serta mengandung unsur-unsur hegemoni tertentu yang terkadang bersifat
sensasional.
Setalah era reformasi menggelinding
di negara kita, diikuti pula kebebasan media massa yang tidak lagi menjadi
corong bagi penguasa. Akan tetapi tidak berarti dengan serta merta media massa
terutama televisi bebas dari control pihak tertentu. Media massa memang bukan lagi
menjadi corong penguasa, tetapi media massa tidak pernah lepas dari intervensi
sang pemilik modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang nota bene memiliki
beragam kepentingan, menyangkut kepentingan ekonomi, politik dan ideologi
tertentu.
Media televisi diyakini mampu menanamkan opini dan
menggiring opini masyarakat kepada sebuah keputusan tertentu, penumbuhan opini
public ini tentu bukan terjadi secara sengaja dan itu sebuah realitas di
masyarakat, tetapi tidak bisa lepas dari berbagai hegemoni dominan pemilik modal dan penguasa dengan
berbagai kepentingannya. Dalam media penyiaran televisi kalau kita petakan
secara global maka akan terpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7
dan Trans TV dibawa payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh
Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak
selaku pemilik di Indonesia adalah Hary Tanoesoedibyo, Lativi dan ANTV bernaung
di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal Bakrie, SCTV yang
sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir
Metro TV dengan pimpinannya yang termasyhur Surya Palo.
Nama-nama di atas adalah orang-orang
yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan, sebagian
di antaranya ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada
pula yang merupakan tokoh penting pada salah satu partai. Tidak menutup
kemungkinan mereka membangun media untuk memuluskan kepentingannya dalam hal perpolitikan
dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media. Hal ini dapat dilihat dari
wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal
kepentingan penguasa seperti yang baru-baru ini terlihat bagaiman televisi
ramai ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar dan Tragedi Monas yang melibatan arogansi
Front Pembela Islam terhadap Aliansi kebebasan untuk kebebasan beragama. Padahal
di sisi lain masih banyak agenda-agenda penting lainnya yang harus diketahui
oleh publik. Tapi inilah agenda media, masyarakat akan mengikutinya.
Media memiliki kekuatan dalam
menentukan agendanya, mana yang mereka anggap penting akan dianggap penting
juga oleh masyarakat dan agenda itu mampu menggeser agenda-agenda besar yang
sedang berkembang di masyarakat. Banyak agenda yang bergeser seperti penyelesaian
kasus lumpur Lapindo, yang sampai saat
ini masih jauh dari kata “beres,” kasus kenaikan BBM yang menimbulkan banyak
persoalan. Bahkan acapkali media membuat bias makna dan menggiring kepada
sistem nilai tertentu, padahal salah satu hak yang harus didapat masyarakat
dari media adalah mereka mendapatkan Diversity
Informasi.
Tentu saja konglomerasi media ini
sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan mengingat pengaruh
media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen
habemas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public sphere yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan
kepentingan.
Mengapa agenda-agenda beser tadi
mengalami pergeseran dalam pemberitaannya, semua ada dalam kendalai meja
redaksi yang tidak bisa lepas dari pengaruh dominan pemilik modal dan idologi
yang diusung. Penguasa tentu akan perupaya agar media massa menyelamatkan
posisinya dengan jalan harus dikendalikan. Asumsi ini menegaskan betapa media
massa yang berada dalam payung konglomerasi industri penyiaran dengan berbagai
kepentingannya mampu menggiring opini yang berkembang di masyarakat menjadi
sebuah konsensus, apa yang dianggap penting oleh media akan menjadi penting
pula bagi publik. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti
sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan
merawat ketaatan publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar