rthadi

HOME

Minggu, 12 Mei 2013

NGOPINI


POLITIK sebagai KOMUNIKASI
Oleh:
Robeet Thadi, M.Si

POLITIK dalam kacamata sosial medapatkan pandangan beragam, mulai yang berkonotasi positif hingga yang berkonotasi negatif. Banyak orang yang alergi jika mendengar kata politik, segala hal yang “dipolitisir” mengandung makna negatif di telinga orang yang mendengarnya;  politik dalam kantor, pendidikan yang “dipolitisir,” seni yang “dipolitisir,” hankam yang “dipolitisir,” semuanya berkonotasi negatif dan memerahkan kuping yang mendengarnya.
Kata “politik” dalam konteks komunikasi sudah lama memperoleh nada jelek, slogan-slogan bernada sinis tentang politik juga tumpah ruah dalam wacana masyarakat kita. Sebut saja, “politik itu kotor,” “politik itu kejam,” “tak ada teman dalam politik,” “kekuasaan cenderung untuk korup,” dan berderet-deret slogan negatif lainnya. Alhasil, bagi banyak orang, entah itu politikus atau bukan, politik itu digenangi oleh intrik, diselimuti penipuan, manuver-manuver ambisius yang tidak jujur, dominasi, sikap-sikap munafik, dan kekerasan. Semua pengertian negatif tersebut sesungguhnya merupakan penyelewengan dari makna politik sebenarnya.
Politik sebagai komunikasi, Hannah Arendt, seorang filsuf perempuan Jerman, memiliki pandangan yang lain tentang politik. Menurutnya “politik adalah kegiatan partisipatif komunikatif,dipertegas Arendt dalam tulisannya “antara pihak-pihak yang bebas dan setara, yang dilakukan di dalam ruang publik sebuah komunitas.” Institusi yang demokratis itu bertugas menjaga agar komunikasi dalam ruang publik politis terus berjalan. Dengan kata lain, tindakan komunikatif ini adalah “roh” atau “nyawa” dari seluruh kehidupan politis masyarakat. 
Dalam pandangan kritis, aktivitas politis merupakan aktivitas bebas tekanan antara orang-orang yang berkedudukan setara. Segala bentuk dominasi, penggunaan kekerasan, paksaan, monopoli haruslah disingkirkan dari arena politis, karena hanya dengan “keharusan” semacam itulah tatanan ruang publik yang sehat dapat tercipta. Di samping itu, aktivitas politik juga merupakan aktivitas tindakan komunikatif antara individu-individu yang saling mengungkapkan kediriannya.
Lewat proses pengungkapan kedirian itu, individu-individu dalam masyarakat yang majemuk akan semakin menegaskan identitasnya, dan memperoleh hidup yang bermakna. Dengan aktivitas politis, orang membangun jaringan relasi satu sama lain, dan jaringan relasi itu, akhirnya, memungkinkan lahirnya solidaritas. Kekuasaan dapat diperoleh dari solidaritas tersebut. Dengan kata lain, kekuasaan adalah solidaritas, dan solidaritas adalah kekuasaan.
Kalau kita menilik kembali sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebelum merdeka, Indonesia adalah komunitas politis yang sendi-sendinya terbangun melalui proses komunikasi. Ia lahir dari kehendak bebas individu-individu yang membangun relasi bebas dan setara satu sama lain. Dengan kata lain, terbentuknya Indonesia merupakan bentuk pelepasan masing-masing individu dari perspektif kesukuannya untuk mencapai kebebasan melalui proses komunikasi intersubyektif yang bebas dan setara.
Individu-individu, pada awalnya, mulai “meninggalkan” keluarganya dan memasuki arena publik untuk berkomunikasi dengan individu lainnya. Dalam komunikasi dengan individu lain tersebut, harapan dan tujuan bersama pun akhirnya terbentuk. Setelah itu, individu-individu yang saling berkomunikasi secara jujur, bebas, dan setara itu, akan berjuang bersama untuk mencapai cita-cita dan harapan bersama tersebut. Komunikasi pun akan melebarkan ruang-ruangnya. Ia tidak lagi membatasi diri pada pembangunan jaringan di dalam suatu organisasi, tetapi meluas menjadi antar organisasi. Puncak kulminasi komunikasi tersebut dapat kita lihat pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dalam masyarakat Indonesia kekinian apakah proses politik sebagai komunikasi di atas memiliki rajutan harapan yang sama dalam membangun kebersamaan menuju masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera, melalui optimalisasi ruang public dalam membangun masyarakat komunikatif? Karena pada akhirnya aktivitas masyarakat tersebut akan melahirkan institusi politis. Dalam arti ini, institusi politis adalah organisasi sosial ruang publik yang terbentuk dari tindakan komunikatif warga-warganya. Ia bertugas untuk menjaga agar warganya tetap saling berkomunikasi, sehingga ruang publik politis yang sehat dan kritis tetap eksis. (**)

Tidak ada komentar: