rthadi

HOME

Jumat, 10 Mei 2013

NGOPINI


Public Opinion’ dalam Hegemoni Konglomerasi Media Televisi

Oleh: Robeet Thadi, M.Si

Keberadaan kita sebagai manusia di era informasi menjadi masyarakat konsumtif, hampir disetiap sisi kehidupan kita selalu diterpah oleh media massa. Media massa merupakan media yang memiliki posisi sangat penting terutama dalam pemenuhan kebutuahan yang serba instan. Institusi media massa dipercaya memiliki kemampuan dalam penyelenggaraan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara siginifikan. Serangkaian simbol yang memberikan meaning tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara luas.
Di antara media massa lainnya, televisi memang primadonanya. Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi. Tak seorang pun meragukan kedigjayaan media massa televisi. Betapa dominannya posisi televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun individu. Namun, di balik kuatnya posisi tersebut, industri televise menghadirkan sederet permasalahan. Ini terutama disebabkan oleh content televisi yang acap mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak. Sebagian besar produk televisi adalah program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional serta mengandung unsur-unsur hegemoni tertentu yang terkadang bersifat sensasional.
Setalah era reformasi menggelinding di negara kita, diikuti pula kebebasan media massa yang tidak lagi menjadi corong bagi penguasa. Akan tetapi tidak berarti dengan serta merta media massa terutama televisi bebas dari control pihak tertentu. Media massa memang bukan lagi menjadi corong penguasa, tetapi media massa tidak pernah lepas dari intervensi sang pemilik modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang nota bene memiliki beragam kepentingan, menyangkut kepentingan ekonomi, politik dan ideologi tertentu.
Media televisi diyakini mampu menanamkan opini dan menggiring opini masyarakat kepada sebuah keputusan tertentu, penumbuhan opini public ini tentu bukan terjadi secara sengaja dan itu sebuah realitas di masyarakat, tetapi tidak bisa lepas dari berbagai hegemoni dominan pemilik modal dan penguasa dengan berbagai kepentingannya. Dalam media penyiaran televisi kalau kita petakan secara global maka akan terpusat pada segelintir orang. Dalam hal ini Trans7 dan Trans TV dibawa payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung , Global TV, RCTI dan TPI bergabung dalam Group MNC dan bertindak selaku pemilik di Indonesia adalah Hary Tanoesoedibyo, Lativi dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Boss utama Abu Rizal Bakrie, SCTV yang sebahagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja, dan yang terakhir Metro TV dengan pimpinannya yang termasyhur Surya Palo.
Nama-nama di atas adalah orang-orang yang membangun kerajaan bisnisnya dengan berupaya dekat dengan kekuasaan, sebagian di antaranya ada yang duduk sebagai orang penting di pemerintahan serta ada pula yang merupakan tokoh penting pada salah satu partai. Tidak menutup kemungkinan mereka membangun media untuk memuluskan kepentingannya dalam hal perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu, melaui media. Hal ini dapat dilihat dari wajah media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa seperti yang baru-baru ini terlihat bagaiman televisi ramai ramai menyiarkan Rapimnas Partai Golkar dan Tragedi Monas yang melibatan arogansi Front Pembela Islam terhadap Aliansi kebebasan untuk kebebasan beragama. Padahal di sisi lain masih banyak agenda-agenda penting lainnya yang harus diketahui oleh publik. Tapi inilah agenda media, masyarakat  akan mengikutinya.
Media memiliki kekuatan dalam menentukan agendanya, mana yang mereka anggap penting akan dianggap penting juga oleh masyarakat dan agenda itu mampu menggeser agenda-agenda besar yang sedang berkembang di masyarakat. Banyak agenda yang bergeser seperti penyelesaian kasus lumpur Lapindo,  yang sampai saat ini masih jauh dari kata “beres,” kasus kenaikan BBM yang menimbulkan banyak persoalan. Bahkan acapkali media membuat bias makna dan menggiring kepada sistem nilai tertentu, padahal salah satu hak yang harus didapat masyarakat dari media adalah mereka mendapatkan Diversity Informasi.
Tentu saja konglomerasi media ini sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan mengingat pengaruh media yang begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Jika mengacu pada Jurgen habemas menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public sphere yang semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan.
Mengapa agenda-agenda beser tadi mengalami pergeseran dalam pemberitaannya, semua ada dalam kendalai meja redaksi yang tidak bisa lepas dari pengaruh dominan pemilik modal dan idologi yang diusung. Penguasa tentu akan perupaya agar media massa menyelamatkan posisinya dengan jalan harus dikendalikan. Asumsi ini menegaskan betapa media massa yang berada dalam payung konglomerasi industri penyiaran dengan berbagai kepentingannya mampu menggiring opini yang berkembang di masyarakat menjadi sebuah konsensus, apa yang dianggap penting oleh media akan menjadi penting pula bagi publik. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik.

Tidak ada komentar: